Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2019

Radikalisme Agama dan Politik

Gambar
Sumber : Harakatuna Secara  teoritis, radikalisme tidak identik dengan kekerasan, termasuk penyandingannya dengan kelompok agama tertentu. Fenomena radikalisme agama bukanlah fenomena yang lahir saat ini saja. Radikalisme agama telah lahir sejak abad 16-19 M, di mana perebutan hegemoni agama antara Islam versus Kristen sangat kentara di sana. Fenomena radikalisme agama juga bukan hanya milik Islam, maupun Kristen, tetapi juga dalam Hindu dan Yahudi, demikian Karen Amstrong, dalam The Battle for God, 2000. Kaum radikal dalam beragama bisa jadi memang memiliki pandangan hidupnya sendiri, yang barangkali berbeda dengan lainnya. Dengan cara pandang sendiri, mereka tidak jarang melihat gejala sosial yang terjadi sesuai dengan cara pandangnya, jika tidak sesuai maka akan sangat mungkin ditolak, bahkan dilawan. Perlawanan inilah yang kadang menjadi bentuk riil dari kaum radikal. Kaum radikal melawan siapa saja yang dianggap berada di luar, atau berbeda dengan pandangan hidupnya. Pandanga

Radikalisme dalam Kajian Psikologis

Gambar
Sumber : Harakatuna Radikalisme merupakan fenomena yang semakin marak di Indonesia dalam beberapa tahun akhir. Hal ini ditandai antara lain dengan lahirnya organisasi-organisasi keagamaan yang sering menggunakan cara-cara kekerasan dalam menjalankan misinya. Organisasi Islam radikal memiliki karakteristik, varian dan orientasi yang bermacam-macam. Namun demikian, ada kesamaan di antara organisasi-organisasi Islam radikal, yaitu penggunaan jalan kekerasan. Pertumbuhan secara masif gerakan Islam radikal mendapatkan respons yang beragam dari berbagai pihak. Ada yang memberikan respons positif dengan mendukung, ada yang memberi respons reaktif-emosional, ada yang memberikan respons kreatif, dan ada juga yang merespon secara anarkis. Sejauh ini, respons yang diberikan belum membendung apalagi menghentikan laju pertumbuhan gerakan Islam radikal. Justru ada kecenderungan terjadi peningkatan jumlah anggota pada berbagai organisasi Islam radikal. Eksistensi organisasi Islam radikal sesun

Waspadai Bibit Intoleransi di Sekolahan

Gambar
Sumber : Harakatuna Bibit-bibit intoleransi, kebencian, dan anti keragaman, saya kira sudah mewabah di sekolah-sekolah negeri, bahkan sejak di TK dan SD. Istri saya sering cerita bagaimana guru, khususnya guru agama, mengajari murid untuk membenci agama lainnya, khususnya Kristen, di depan para muridnya, dengan nada mengolok dan melecehkan. Misal, ada guru anak saya nanya, “apakah di sini ada yang tahu apa itu gereja dan siapa yang pernah ke gereja?” Anak saya mengangkat tangannya dan mengatakan bahwa Ia tahu gereja dan sering ke gereja. Mendengar itu, gurunya kaget dengan raut muka tidak menyenangkan. Setelah mendengar cerita anak saya, sang guru mencecar anak saya dengan berbagai pertanyaan yang intimidatif dan merendahkannya di depan murid-murid lainnya. “Kalau saya, setiap naik motor dan melewati gereja”, demikian kata guru tersebut, “saya selalu memalingkan muka. Jangankan datang ke gereja. Melihat aja saya tidak mau!”. Dengan detil dan rinci anak saya menceritakan dan memp

Aktualisasi Spirit Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan dalam Menangkal Arus Radikalisasi

Gambar
Sumber : Hatakatuna Munculnya paham radikal dalam ideologi umat ialah sebuah fenomena publik yang harus dibasmi. Sebab paham ini dapat menghadirkan sebuah dampak negatif yang dapat meresahkan, bahkan mengobrak-abrik tatanan sosial karena paham ini berpotensi besar mengarah pada tindakan terorisme. Mayoritas kelompok radikal cenderung meyikapi sebuah teks-teks normatif agama secara tekstulis tanpa adanya sebuah analisis lebih lanjut sehingga terjadi stagnasi (kejumudan) interpretasi dalam pola pikir mereka. Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang masyarakatnya rentan dimasuki paham radikal.  Terlebih ketika  berkaca kepada tindak aktif terorisme di Indonesia yang terjadi tiada henti; mulai peristiwa bom Bali hingga fenomena aksi keluarga terorisme di Surabaya, serta beberapa fenomena-fenomena lainnya. Dalam kondisi yang demikian itu, diperlukan analisis kritis dan koreksi terhadap aspek praksis negatif dalam menanggulangi tindak radikal kedepannya. Berkaca kepada kondisi I

Mewaspadai Wahabisme di Media Sosial

Gambar
Sumber : Harakatuna Sudah mafhum, kehadiran teknologi telah menjadikan manusia buta akan realitas. Eksistensia manusia modern berintegrasi dengan teknologi dalam relasinya. Benar, pada era modernisasi dan globalisasi ini, manusia tak ubahnya berada dalam dunia teknologi. Hampir dalam keseharian hidupnya, manusia melibatkan teknologi. Dengan teknologi itu, aktifitas manusia menjadi lebih mudah, kompleks, dan efisien. Don Ihde (1934), seorang filsuf teknologi Amerika mengatakan bahwa, teknologi turut menentukan eksistensi manusia. Faktisitas eksistensi manusia selalu berhadapan dengan dua kemungukinan situasi eksistensial, yaitu mengalami otentisitas atau inotentisitas.  Sejak awal, Martin Heidegger (1889-1976) salah seorang filsuf Jerman, telah mengatakan dengan penjelasan-penjelasan fundamental tentang manusia dan teknologi. Melaui filsafat fenomenologinya, Heidegger memberikan pemahaman dasar tentang manusia dan teknologi. Bagi Heidegger, teknologi telah menjadi ‘dunia’ bagi man

MEMBAJAK AYAT DEMI KEPENTINGAN SESAAT

Gambar
Nashr Hamid Abu Zaid, menyatakan bahwa al-Quran adalah musfah yang tidak dapat berbicara. Artinya, al-Quran tak bisa menghasilkan hukum sendiri. Perlu adanya suatu yang bisa menggali maknanya darinya. Dalam posisi inilah manusia, sebagai makhluk yang diberi akal, menjadi makhluk Allah yang sanggup melakukan penafsiran dan menemukan makna yang dikehendaki al-Quran. Dari sinilah yang, kemudian, umat Islam berbondong-bondong menjadikan al-Quran sebagai rujukan dan posisi sentral berkeagamaan. Masih menurut Nashr, pembacaan terhadap al-Quran tidak lepas dari subyektifitas seorang pembaca/penafsir. Alasan inilah yang menyebabkan munculnya tafsir-tafsir yang bernuansa kepentingan sesaat. Hajat sesaat. Dan nafsu kurafat. Azyumardi Azra memberikan satu hal yang membuat tafsir atas al-Quran hanya diniatkan untuk kepentingan sesaat, yaitu untuk kepentingan politik. Potensi terjadinya penyelewengan al-Quran atas dasar politik yang kotor ini sudah dimulai sejak masa Khalifah Ali bin Abi Thalib,

Rekonstruksi Kebangsaan dalam Turbulensi Globalisasi

Gambar
Sumber : Harakatuna Indonesia, negeri berdaulat yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Berbagai suku, agama, ras dan kultur berbeda tersebar diseluruh bentangan bumi Nusantara. Nilai-nilai kebangsaan yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945, merupakan cermin peradaban, bahwa manusia Indonesia telah mencapai kematangan pola pikir yang bijaksana. Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki spirit wawasan kebangsaan berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan oleh karenanya memiliki landasan moral, etik dan spiritual, serta berkeinginan untuk membangun masa kini dan masa depan bangsa yang sejahtera lahir dan batin, material dan spiritual, didunia dan akhirat (Yudohusodo, 1996:13). Namun, betapa sayangnya dan sungguh memiriskan pada melenium 21 ini, ada indikasi menurunnya spirit wawasan kebangsaan dan ketaatan terhadap nasionalisme dalam tubuh bangsa besar kita. Nilai-nilai intrinsik dan fundamental bangsa yang selama ini menjadi landasan pembangunan kebangsaan dan kenegaraan –mul

Menag: Beragama Secara Ekstrem Bukan Cara yang Diajarkan Rasulullah

Gambar
Sumber : Harakatuna Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan, Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang tidak ingin memberatkan umat manusia dalam beragama. Di tangan Nabi Muhammad, Islam datang menjadi agama kasih yang memudahkan orang, bukan menyulitkan. Maka, beragama secara ekstrem bukalah cara beragama yang diajarkan Rasulullah,” kata Lukman dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1429 Hijriah di Istana Bogor, Kamis (30/11/2017). Lukman mengatakan, Allah SWT pun telah mendeklarasikan bahwa umat dihadirkan sebagai umat pertengahan, umat moderat, umat yang adil. Umat yang anti pada semua sikap ekstrimisme dan tidakan yang melampaui batas. Umat yang mampu menjadikan sikap pertengahan sebagai pilihan hidup dalam segala lini cara pikir, cara beribadah, cara bermuamalah Islam sangat menentang sikap ekstrimisme dalam bentuk apapun. Sikap tersebut akan menimbulkan dampak negatif dan ekses buruk tidak hanya bagi individu tapi juga keluarga, masyarakat, negara dan dunia. “Sikap e

Radikalisme Agama dan Politik

Gambar
Sumber : Harakatuna Secara  teoritis, radikalisme tidak identik dengan kekerasan, termasuk penyandingannya dengan kelompok agama tertentu. Fenomena radikalisme agama bukanlah fenomena yang lahir saat ini saja. Radikalisme agama telah lahir sejak abad 16-19 M, di mana perebutan hegemoni agama antara Islam versus Kristen sangat kentara di sana. Fenomena radikalisme agama juga bukan hanya milik Islam, maupun Kristen, tetapi juga dalam Hindu dan Yahudi, demikian Karen Amstrong, dalam The Battle for God, 2000. Kaum radikal dalam beragama bisa jadi memang memiliki pandangan hidupnya sendiri, yang barangkali berbeda dengan lainnya. Dengan cara pandang sendiri, mereka tidak jarang melihat gejala sosial yang terjadi sesuai dengan cara pandangnya, jika tidak sesuai maka akan sangat mungkin ditolak, bahkan dilawan. Perlawanan inilah yang kadang menjadi bentuk riil dari kaum radikal. Kaum radikal melawan siapa saja yang dianggap berada di luar, atau berbeda dengan pandangan hidupnya. Pandangan

Gagal Paham Bendera Rasulullah

Gambar
Sumber : Harakatuna Pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid oleh beberapa oknum BANSER Garut menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Pro-kontra mewarnai aksi yang bertepatan dengan peringatan Hari Santri Nasional, 22 Oktober 2018. Banyak pihak, mulai dari ormas Islam, tokoh masyarakat, politisi, masyarakat umum, sampai netizen ikut mengungkapkan pandangannya. Mayoritas mengkritik habis-habisan, tetapi tak sedikit pula yang tak ikut menyalahkan BANSER. Terdapat alasan kuat di balik pro-kontra aksi pembakaran. Pihak pro mengatakan bahwa itu adalah bendera HTI, ormas Islam terlarang. Sementara yang kontra menganggap bendera tersebut adalah bendera Rasulullah. Lantas mana pendapat yang paling sesuai bila dilihat dari konteks komunikasi antarbudaya? Makna dan Fungsi Bendera Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bendera diartikan sebagai sepotong kain atau kertas segi empat atau segitiga (diikatkan pada ujung tongkat, tiang, dan sebagainya) dipergunakan sebagai lambang negara, perkumpul

Mewaspadai Gerakan Kebencian

Gambar
Sumber : Harakatuna Di mana-mana agama pecah berserakan, menjelma serpihan-serpihan sampah yang seringkali membuat kita mual. Friksi dan kebencian bertalu-talu atas nama Tuhan dan agama. Nilai-nilai suci kemanusiaan gosong oleh fitnah dan pertikaian.” (Kuswaidi Syafiie)  Perdamaian dan kebahagiaan adalah impian setiap manusia. Tidak ada satu pun agama yang memerintahkan umatnya untuk menebar kebencian. Ajaran agama-agama memiliki peran dan fungsi besar bagi kehidupan manusia, terutama dalam hubungannya dengan Tuhan dan individu dengan individu lainnya. Singkatnya, setiap agama hadir di dunia untuk memberikan kedamaian sekaligus keselamatan bagi setiap pemeluknya. Tidak terkecuali agama Islam yang memiliki watak rahmatan lil ‘alamin. Islam adalah agama kedamaian. Prinsip kasih sayang dan persaudaraan merupakan inti dari ajaran-ajarannya. Ahmad Syafiie Maarif dalam Islam dalam Bingkai Keindonesiaan (2015) menegaskan bahwa watak Islam adalah menyejukkan. Islam memberikan kesejukan dan

Radikalisme Berselimut Agama

Gambar
Sumber :Harakatuna Bangsa Indonesia merupakan negara multikultural yang memiliki banyak suku, agama, ras dan golongan dan setiap golongan masyarakat memiliki kepentingan, sudut pandang dan cara berfikir yang berbeda-beda bisa memicu adanya perpecahan. Akhir-akhir ini sikap radikal masyarakat golongan tertentu sering muncul di berbagai media untuk menunjukkan eksistensi dan opini golongan atau kelompok radikal tersebut. Kekerasan atau radikal kadang menjadi cara yang sering dilakukan untuk memprotes kebijakan pemerintah. Sebagai warga negara yang baik seharusnya tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan negara, namun diperlukan suatu sikap yang bisa membangun negara dalam menyampaikan aspirasi kepada pemerintah demi kepentingan seluruh warga negara Indonesia. Tindakan Radikalisme Tindakan kekerasan atau radikalisme merupakan suatu paham yang menghendaki adanya perubahan atau pergantian terhadap suatu sistem di masyarakat sampai ke akarnya dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Ada

Masjid, Khotbah, dan Radikalisme

Gambar
Sumber : Harakatuna Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) melakukan survei pada 100 masjid yang ada di lingkungan pemerintah di DKI Jakarta. Survei yang dilakukan setiap Jumat selama empat pekan dari 29 September hingga 21 Oktober 2017 tersebut menghasilkan temuan mengejutkan: terdapat 41 masjid yang terindikasi menyebarkan paham radikal. Setiap masjid dari 100 masjid tersebut didatangi seorang relawan untuk merekam khotbah dan mengambil gambar brosur, buletin, dan bahan bacaan lain yang terdapat di masjid. Bahan-bahan tersebut menjadi acuan menilai apakah masjid terindikasi radikal atau tidak. Hasilnya, dari 100 masjid tersebut, terdapat 41 masjid terindikasi radikal. Dengan rincian, 7 masjid di level rendah, 17 masjid di level sedang, dan 17 masjid di level tinggi. Level rendah artinya secara umum cukup moderat tatapi berpotensi radikal. Misalnya, dalam konteks intoleransi khatib tidak setuju tindakan intoleran, namum memaklumi jika terjadi intoleransi. Kemudian

Menghormati Ulama, Menjaga Indonesia

Gambar
Ketidakhadiran ulama di suatu negeri niscaya akan menyebabkan kehancuran. Sebab ulama merupakan tiang utama untuk menjaga moralitas masyarakat. Maka, eksistensi ulama di Indonesia harus disyukuri sekaligus diiringi dengan sikap penghormatan terhadap mereka. Imam Syafii pernah ditegur karena begitu tawadhu kepada ulama. Kemudian beliau berkata “Aku merendahkan diriku kepada para ulama, maka mereka pun memuliakanku. Seseorang tidak akan dimuliakan jika ia tidak merendahkan dirinya“. Imam Ahmad bin Hanbal pun memiliki sikap yang sama. Beliau berkata kepada Khalaf al-Ahmar bahwa “Aku tidak akan duduk kecuali di hadapanmu. Sesungguhnya kami telah diperintahkan supaya bersikap tawadhu kepada orang yang kami belajar ilmu darinya” (Ensiklopedi Adab Islam, 2007:186). Sikap dan keteladanan seperti inilah yang perlu ditiru dan dijaga oleh kita semua. Meskipun begitu, kita perlu dilakukan gugatan kritis terhadap terminologi ulama. Poin ini penting, sebab -di era post truth ini- terjadi perebutan

Menyempurnakan Patriotisme Pancasila Berketuhanan

Gambar
Menjadi bangsa Indonesia adalah sebuah kebanggaan. Salah satu kebanggaan yang patut dimiliki, karena hidup penuh keragaman dengan semangat kesatuan. Wujud dari perjuangan menyatukan Indonesia itulah yang disebut patriotisme. Jiwa patriotik ini sangat perlu dimiliki oleh semua bangsa Indonesia. Apalagi dalam kondisi bangsa yang baru dihadapkan pada tantangan ideologis: kelompok radikal, teroris dan makar. Penyatuan patriotisme ini tentu saja dengan nilai-nilai yang sudah dikandung dalam Pancasila. Inti dari patriotisme yang dijalankan sesungguhnya berangkat dalam semangat beragama, maka disebut dengan patriotisme berketuhanan. Kenapa demikian? Sebab Undang-undang Dasar 1945 pasal 29 menegaskan: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ayat berikutnya berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Selama ini, pemaknaan UUD terhadap pasal 29 ini hanya sebatas pada ruang k