Meruwat Masjid dari Benih-benih Radikalisme

Masjid sebagai tempat bermunajat umat Islam kepada Allah Swt., mesti bebas dari ambisi-ambisi duniawi yang kotor. Apalagi, yang berkaitan dengan politik praktis; bukan sebatas di tahun-tahun politik, politik praktis juga bisa dimaknai sebagai perjuangan untuk mengganti sistem pemerintahan sesuai keinginannya; misal khilafah. Ceramah-ceramah yang mengarah pada hal tersebut, hendaknya tidak disampaikan di masjid. Memang benar, bahwa dulu masjid dijadikan pusat politik oleh Rasulullah Saw. dan beberapa khalifah. Menjamu tamu, di masjid. Memberikan instruksi untuk melakukan perang, di masjid. Sampai masjid dijadikan tempat untuk menginap, bagi para musafir atau ahli suffah. Namun, seiring perubahan zaman, pusat pemerintahan lambat laun menjauh dari masjid, dan dibangunlah gedung utama, bernama istana negara (atau gedung pemerintahan lainnya). Di gedung tersebutlah, segala persoalan negara dan pemerintahan bisa dibicarakan. Sehingga, fungsi masjid lebih kepada tempat untuk beribadah dan edukasi keagamaan, demi mencetak generasi muslim yang memiliki spiritualitas tinggi. Dengan demikian, membicarakan politik praktis di masjid, apalagi dengan menebar kebencian kepada kelompok tertentu, tidaklah tepat, bahkan dilarang, demi menjaga persatuan umat. Wawan Purwanto selaku juru bicara Badan Intelejen Negara atau BIN, mengatakan dalam tirto.id, bahwa 41 masjid yang diduga terpapar radikalisme, sebenarnya lebih kepada penceramahnya. Tidak ada masjid radikal, yang ada hanyalah para penceramah yang membawakan konten radikalisme, yang jumlahnya mencapai 50-an. Keberadaan penceramah intoleran di masjid yang berada dalam lingkungan kantor pemerintahan ini, agaknya bisa dijadikan pelajaran bagi pemerintah dan masyarakat secara umum, bahwa persebaran radikalisme itu benar adanya, dan mulai merasuk ke berbagai sektor kehidupan. Membiarkan penceramah intoleran berkeliaran di masjid-masjid, tentu akan merepotkan kita di kemudian hari. Coba bayangkan, jika masyarakat Indonesia, setengah dari jumlah penduduk saja, mulai simpati dengan radikalisme. Yang menganggap anjuran-anjuran perang membunuhi orang-orang kafir (klaim mereka) sebagai seruan suci yang bisa mengantarkan pelakunya menuju surga abadi. Apa yang terjadi? Besar kemungkinan, pecah perang saudara; satu pihak mempertahankan berislam yang moderat, pihak lainnya keukeuh dengan Islam garis keras. Memang mengerikan jika dibayangkan, tapi kemungkinan itu bisa saja terjadi. Maka dari itu, meruwat masjid agar menjadi lingkungan yang bersih dari radikalisme sangatlah perlu dilakukan. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan aturan ketat kepada setiap penceramah, supaya tidak menyampaikan ayat-ayat pedang secara tekstual, apalagi sampai menyeru pada jihad dalam artian perang melawan negara toghut, misalnya. Berkaitan dengan masjid-masjid pemerintahan yang diduga ceramahnya mengandung konten intoleran, maka perlu dilakukan edukasi kepada jamaah, mengenai hakikat dari ideologi radikalisme, terorisme, fundamentalisme, dan garis keras. Penceramah mesti mampu menjelaskan ideologi-ideologi yang merusak itu kepada jamaah, supaya jamaah memiliki bekal untuk memfilter setiap informasi yang berseliweran di internet maupun grup-grup media sosial. Dengan demikian, boleh radikalisme masuk ke masjid, tapi hanya wacananya, untuk dibicarakan bersama jamaah. Membicarakan radikalisme untuk meruwat masjid dari gerakan radikalisme adalah penting, karena, masyarakat kita kerap membenci sesuatu atau seseorang hanya berdasarkan ‘katanya-katanya’, tanpa tahu seluk-beluk sesuatu atau orang tersebut. Dengan membicarakan radikalisme di masjid, secara tidak langsung juga tengah mengusir rayuan gombal radikalisme dari benak masing-masing jamaah. Strategi ini tentu membutuhkan sumber daya manusia atau SDM yang mumpuni, dalam hal ini adalah penceramah atau dai. Setidaknya, ada beberapa kualifikasi yang perlu dimiliki dai tersebut, untuk memuluskan strategi meruwat masjid dari radikalisme dengan cara membicarakan radikalisme. Pertama, dai mesti paham seluk beluk radikalisme; mulai dari ideologi, gerakan, sampai dengan dampak yang terjadi jika telah mengakar dalam sebuah tatanan masyarakat. Tentu saja, hal ini bisa dilakukan dengan banyak belajar, baik membaca literatur terkait maupun berdiskusi dengan tokoh-tokoh. Kedua, dai memiliki paham Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Tidak asal dalam memahami ayat-ayat pedang, melainkan melihat asbabun nuzulnya, dan untuk hadits, dilihat asbabul wurudnya. Ketiga, dai memiliki kemampuan untuk menyihir jamaah, supaya memiliki perhatian penuh kepada materi ceramah. Orang semacam ini tentu perlu belajar, untuk menyebut salah satunya, Zainudin MZ, di mana beliau mampu menyihir jamaah untuk mendengarkan ceramahnya. Seolah-olah, tidak bosan ketika mendengar beliau menyampaikan ceramahnya, yang sistematis dan mudah dipahami. Adapun untuk menemukan dai dengan kualitas seperti di atas, pemerintah bisa menempuh banyak cara, seperti bekerja sama dengan organisasi Islam moderat yang ada dan melakukan pelatihan dai (tidak hanya melatih teknik berceramah di depan orang banyak, tapi juga memberikan pemahaman bahwa ajaran-ajaran Islam hendaknya dipahami secara menyeluruh, jangan sepotong-sepotong; sehingga tidak sampai terjadi seorang dai menyeru pada jihad, tapi dengan mengorbankan jiwa manusia (yang sangat dijaga oleh Islam); ini termasuk sesat-pikir atas istilah jihad).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDAPAT NU DAN MUHAMMADIYAH SOAL KONFLIK UIGHUR YANG TAK MAU KITA DENGAR

Forum Kyai dan Mubaligh Nusantara Tolak People Power

Kenapa Allah Menciptakan Kita Berbangsa Bangsa dan Bersuku Suku?