Menangkal Radikalisme Eks TKI

Penangkapan calon "pengantin" bom bunuh diri di Bekasi baru-baru ini dan pengungkapan rencana aksi terduga teroris di Tangerang Selatan hari ini membuat banyak pihak terkesima. Rupanya ancaman teror juga ditebar oleh segelintir TKI yang pulang kampung. Bila dirunut lebih jauh, sepertinya banyak terkait dengan tingkat pendidikan dan soal kaget budaya. Dalam catatan saya, sudah lebih dari 5 WNI, pekerja di negeri ginseng yang dideportasi akibat ulahnya, bermain-main dengan radikalisme. Pemerintah Korea Selatan tampaknya sangat ketat mengawasi siapa saja yang mengakses situs-situs terlarang tersebut, bahkan mengunggahnya di media sosial. Begitu terlibat "aktif", langsung "didepak".  Fenomena segelintir TKI yang menjadi radikal ini memang bukan barang baru. Mestinya mudah dan sudah diprediksi. Seorang pakar anti terorisme, Noor Huda Ismail, mengistilahkan sebab-musabab radikalisme itu dengan "gegar budaya" dan "digital illiteracy". Potensi menjadi radikal ini bisa sangat mungkin muncul di Korea, Jepang dan beberapa negara lain. "Gegar budaya" dipicu oleh sebuah suasana baru yang memang sangat mengagetkan. Anak-anak lulusan SMP dan SMA yang di kampungnya rata-rata adalah warga yang sangat sederhana dengan kantong yang pas-pasan, tiba-tiba di Korea Selatan memiliki pendapatan kisaran Rp 30 juta per-bulan. Gaji pertama biasanya dipakai untuk unjuk gigi dengan pembelian hape dan gadget komunikasi lain yang paling top markotop di dunia. Uang dan gadget adalah "mak comblang" dari perkenalan mereka dengan dunia maya yang tanpa batas. Di Korea yang notabene adalah negara dengan fasilitas Wi-Fi sangat kuat, mulai di WC hingga pantai, telah membuka lebar-lebar mata pikiran anak-anak kita akan hal-hal baru, termasuk paham radikal. Mereka terus mengalami "self learning" di malam-malam sepi, tanpa guru dan pembimbing. Tingkat pendidikan para pendulang devisa yang pada level menengah merupakan persoalan tersendiri. Mereka mudah tertarik, simpati, mendukung dan bahkan terpengaruh akan hal-hal yang dianggap baru dan baik. Bahkan dalam batas tertentu, bila mereka yakin, tidak segan untuk menyisihkan sebagian dari pendapatannya dalam rangka "beramal soleh". Inilah fenomena digital illiteracy. Tanpa adanya bimbingan yang ketat, mereka yang "fragile" itu akan mudah tergelincir dan mengeras hatinya. Dan salah-salah, akan pulang kampung siap menjadi martir dan "pengantin" bagi keyakinannya. Repotnya, di Korea saja jumlah TKI bisa mencapai hampir 40 ribu, belum ditambah di Jepang, Hongkong, dan beberapa negara lain --yang memberikan keindahan akses internet. So, tantangan mengawasi masalah ini sangat besar dan serius. Hemat saya, kerentanan para TKI tersebut bisa ditanggulangi dengan setidaknya dua langkah utama. Pertama, pembekalan pra penempatan tentang kehati-hatian dalam penggunaan internet. Membangun kesadaran hal ini pastilah tidak mudah namun merupakan keharusan. Bahkan bila diperlukan, pendekatan "stick and carrot" juga bisa diberlakukan.  Kedua, mengingat jumlah yang demikian banyak, perlu digalakkan pembinaan melalui berbagai grup medsos agar selalu ingat dan sadar akan bahaya radikalisme. Selain itu, pemberdayaan purna TKI oleh Pemerintah Pusat dan Daerah juga menjadi jurus mantap yang mempertebal rasa kebangsaan. Jujur saja, sangatlah sulit melarang ratusan ribu pekerja kita di luar negeri untuk tidak berselancar di lautan dunia maya. Karenanya, selalu menyapa mereka dengan rasa cinta melalui peringatan dan pembinaan adalah sebuah jawaban. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDAPAT NU DAN MUHAMMADIYAH SOAL KONFLIK UIGHUR YANG TAK MAU KITA DENGAR

Forum Kyai dan Mubaligh Nusantara Tolak People Power

Kenapa Allah Menciptakan Kita Berbangsa Bangsa dan Bersuku Suku?