upaya menangkal radikalisme

Indonesia yang berpenduduk sekitar 250 juta jiwa kini telah diakui sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, sesudah India dan Amerika Serikat. Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bahkan disebut-sebut menjadi model kecocokan dan koeksistensi harmonis antara Islam dan sistem demokrasi.  Kondisi demokrasi dan hubungannya dengan agama di Indonesia berbeda jauh, katakanlah, jika dibandingkan dengan banyak negara yang berpenduduk mayoritas Muslim di kawasan Timur Tengah. Banyak pemerintah di negara-negara itu tidak demokratis atau belum berhasil mewujudkan demokrasi dalam kehidupan politiknya.  Pada saat yang sama, di negara-negara tersebut terdapat kelompok-kelompok yang mengusung ideologi radikalisme agama. Mereka aktif melakukan tindakan kekerasan, terorisme, dan aksi militer untuk kepentingannya, sehingga menimbulkan gangguan keamanan dan ketidakstabilan pemerintahan. Gelombang demokratisasi Musim Semi Arab (Arab Spring) yang melanda sejumlah negara Arab, seperti Tunisia, Maroko, Libya, Mesir, Suriah, Yaman, belum menunjukkan keberhasilan demokratisasi. Politik di Libya dan sejumlah negara Arab lain tidak stabil. Sedangkan demokrasi di Mesir bahkan mundur lagi, karena sesudah berhasil mengadakan pemilu demokratis, presiden dari kubu Ikhwanul Muslimin (baca: partai Islam) yang terpilih lewat pemilu, kemudian malah dikudeta oleh militer Mesir. Suriah malah dilanda perang saudara yang berlarut-larut, antara pasukan pemerintah melawan kelompok oposisi, yang sebagian membawa bendera agama. Bahkan ada intervensi militer dari luar, yakni dari kelompok ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), yang membawa bendera agama Islam dengan pemahaman radikal-ekstrem. ISIS berhasil menguasai sebagian besar wilayah di Suriah dan Irak lewat aksi teror dan kekerasan. Perang saudara juga terjadi di Yaman, dengan melibatkan intervensi militer dari Arab Saudi dan negara-negara Arab Teluk. Politik di Irak juga selama bertahun-tahun tidak stabil, sejak invasi Amerika Serikat tahun 2003 yang menggulingkan Presiden Saddam Hussein. Situasi politik diwarnai persaingan antara kubu Muslim Sunni, Syiah, dan Kurdi. Ketidakstabilan dan kelemahan pemerintahan akibat konflik yang berlarut-larut dimanfaatkan oleh kelompok radikal-ekstrem ISIS, yang berhasil merebut banyak wilayah di Irak lewat kekuatan militer.  Sementara itu, di Indonesia keberadaan kelompok radikal-ekstrem Islam, yang berusaha merebut kekuasaan dan wilayah lewat cara kekerasan dan militer seperti ISIS, memang masih sangat kecil. Yang ada barulah sejumlah simpatisan ISIS, yang menyatakan dukungan lewat media sosial. Tetapi sebagian warga Indonesia lain dikabarkan sudah ada yang berangkat diam-diam ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS.  Menurut sumber satuan antiteror Detasemen Khusus 88, sampai pertengahan 2015, tercatat ada 350 warga Indonesia yang bergabung ke ISIS. Mereka memakai paspor mahasiswa atau pekerja migran. Yang sulit tercatat adalah mereka yang telah menjadi pekerja migran, yang sudah tinggal di negara-negara Timur Tengah, dan berangkat dari sana untuk mendaftar langsung ke wilayah kekuasaan ISIS. Ketika mereka nanti pulang ke Tanah Air, mereka berpotensi menjadi sel teror aktif tanpa ketahuan. Pokok Permasalahan Demokrasi di Indonesia saat ini bisa dibilang masih bersifat prosedural, namun secara bertahap kehidupan demokrasi sudah semakin matang dan prospeknya semakin baik. Mayoritas warga Indonesia yang beragama Islam umumnya juga menunjukkan dukungan pada sistem demokrasi. Mereka tidak mempertentangan antara Islam dan demokrasi.  Demokrasi Pancasila dianggap sebagai perwujudan nilai-nilai Islam dalam konteks Indonesia, jadi keduanya bisa selaras. Bahkan dalam perspektif organisasi kemasyarakatan Islam, Nahdlatul Ulama (NU), penerimaan terhadap Pancasila adalah manifestasi dari upaya umat Islam Indonesia menjalankan syari’at Islam. Meski demikian, dalam perspektif Ketahanan Nasional (Tannas), bukan berarti Indonesia secara ideologis “sudah aman” dan tidak ada lagi ancaman. Tannas sebagai kondisi adalah keuletan dan ketangguhan bangsa untuk menghadapi dan menanggulangi ancaman dari dalam dan luar. Sedangkan Tannas sebagai konsepsi adalah pola pikir, sikap, dan tindak yang komprehensif, sistemik, dan integral dalam kehidupan insani, masyarakat, bangsa dan negara. Tannas merupakan national power yang bulat, terpadu dan seimbang, dan merupakan gabungan dari kondisi dan konsepsi. Tannas merupakan hasil interaksi dari unsur-unsur kekuatan bangsa, yang berupa delapan gatra: wilayah, demografi, sumberdaya alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan. Salah satu ancaman yang kini dirasakan adalah adanya ideologi-ideologi transnasional, yang menggunakan penafsiran radikal terhadap ajaran agama (khususnya Islam), sebagai alat legitimasi atau pembenaran dalam mencapai kepentingannya. Istilah yang digunakan di sini adalah “radikalisme agama.” ISIS adalah contoh salah satu kelompok semacam itu. Pemeluk suatu agama, apapun agamanya, berpotensi membuat penafsiran-penafsiran radikal terhadap ajaran agamanya. Penafsiran radikal ini menjadi berbahaya ketika diklaim sebagai satu-satunya kebenaran, atau kebenaran mutlak. Sementara itu, mereka yang berbeda pemahaman dianggap sebagai musuh yang boleh dibunuh atau dilenyapkan. Dalam kasus ISIS, yang dimusuhi oleh ISIS bukan cuma mereka yang berbeda agama, tetapi juga sesama Muslim yang berbeda aliran. Lebih rawan lagi, ketika pemahaman yang memutlakkan klaim kebenaran itu diwujudkan dalam tindakan ekstrem atau kekerasan, yang ditujukan kepada pihak lain yang berbeda pendapat, bahkan kepada negara. Maka muncullah aksi-aksi terorisme, penculikan, pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, perebutan wilayah, serta pemberontakan terhadap pemerintah yang sah. Semua tindakan itu mendapat pembenaran dari penafsiran radikal, menyimpang, dan ekstrem terhadap ajaran agama, atau dengan kata lain “tujuan menghalalkan cara.” Masyarakat, khususnya umat Islam di Indonesia, saat ini cenderung terbuka dan menyerap berbagai paham keagamaan transnasional atau yang berasal dari luar negeri. Sayangnya, setelah meniru dan menyerap paham transnasional itu, kebanyakan menganggap pemahaman keagamaan termasuk budaya yang diserap itu adalah yang paling benar dan paling asli dibandingkan dengan pemahaman yang lain.  Selain itu, munculnya berbagai pemahaman transnasional juga membuat hubungan antarumat Islam di Nusantara menjadi renggang, sebab dengan paham impor tersebut banyak umat Islam di Indonesia berubah memiliki cara pandang yang kaku dan cenderung keras dalam menghadapi perbedaan. Ada kelompok dan gerakan yang ingin memaksakan kehendak di Indonesia. Mereka ingin menyeragamkan identitas Nusantara menjadi satu agama menurut versi pemahaman mereka sendiri. Kelompok-kelompok ini sering mengatasnamakan “Islamisasi,” padahal mereka sedang melakukan “Arabisasi.” Untuk mengatasi atau menangkal berbagai ideologi kekerasan transnasional, yang menggunakan dalih keagamaan radikal-ekstrem semacam ini, penulis mengajukan konsep Islam Nusantara. Konsep ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru karena sudah dipraktikkan lama di Indonesia. Namun konsep ini perlu dijabarkan lebih lanjut dan diulas di sini, agar bisa lebih mudah dipahami dan disosialisasikan. Radikalisme Agama dan Tantangan ISIS Istilah radikal berasal dari bahasa Latin “radix, radicis” yang berarti akar. Menurut Webster’s New Dictionary and Thesaurus(1990), arti kata radical itu berkaitan dengan sifat atau karakteristik akar, sumber, asal mula, fundamental, menyukai perubahan mendasar. Jadi, berpikir radikal dalam bidang agama bisa diartikan memahami agama secara mendasar, sampai ke akar-akarnya. Sedangkan radicalism berarti prinsip-prinsip atau semangat radical. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai secara menyeluruh, habis-habisan, amat keras menuntut perubahan, dan maju dalam berpikir atau bertindak. Maka, orang yang “radikal” itu tidak otomatis berarti negatif, buruk, atau bisa disamakan dengan orang yang melakukan tindak kekerasan berbasis agama. Makna “radikal” itu sebenarnya bersifat netral, bisa positif dan bisa pula negatif. Namun, The Hutchinson Dictionary of Ideas (1995) menyatakan, radical dalam politik adalah siapapun yang memiliki pendapat lebih ekstrem ketimbang arus utama partai atau partai-partai politik di negara bersangkutan. Sebutan ini lebih sering diterapkan untuk mereka yang beraliran sayap kiri, walaupun juga ada yang dinamakan radikal kanan. Sedangkan, “radikalisme,” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1995) didefinisikan sebagai pemahaman atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.  Jadi, “radikalisme agama” bisa diartikan sebagai pemahaman agama, yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik melalui cara-cara kekerasan atau drastis. Kelompok-kelompok yang mengaku Islam, namun melakukan aksi kekerasan dan pembunuhan bi ghairil haq (tanpa ada dalil syar’i yang benar) seperti ISIS itu adalah contoh wujud radikalisme agama yang keliru. Namun, ISIS bukan sekedar organisasi teroris biasa yang menjalankan radikalisme agama. Dengan penguasaan wilayah yang luas, jumlah pengikut yang besar, dan kemampuannya menjalankan “pemerintahan” di wilayah yang sudah ia kuasai, praktis ISIS sudah menjelma menjadi negara, atau “Kekhalifahan Islam” seperti yang diklaimnya. Menurut Ahmad Fuad Fanani (2015), saat ini definisi dan pemaknaan tentang konsep negara Islam atau negara yang Islami itu dibajak oleh ISIS. ISIS mengklaim, kelompok merekalah yang benar-benar merepresentasikan bentuk kekhalifahan Islam yang selama ini diidamkan banyak kalangan. ISIS mengkritik model kekhalifahan Hizbut Tahrir yang masih bersifat wacana atau kekhalifahan model Ahmadiyah yang bersifat spiritual. Dalam perspektif ISIS, pihaknya tidak lagi berwacana tetapi sudah mendirikan kekhalifahan Islam yang membawahi banyak negara. ISIS sudah memiliki rakyat (pengikut), angkatan bersenjata, wilayah teritorial, sistem pemerintahan dan kenegaraan, sebagaimana layaknya sebuah negara. ISIS mengklaim dirinya sebagai representasi negara Islam, dan yang lainnya dianggap tidak Islami.  Dengan klaim kebenaran itu, ISIS merasa sah untuk melakukan agresi militer, terorisme, pembunuhan, dan aksi kekerasan lain ke pihak-pihak yang dianggap kafir, tidak sejalan, atau bertentangan dengan ideologinya. Yang dianggap termasuk kategori kafir adalah kaum Yahudi dan Nasrani, karena kedua kaum ini dianggap menghalangi penegakan syariat Islam. Sedangkan pemimpin negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, yang bekerjasama dengan kaum kafir, dianggap murtad. Karena itu, ISIS memperlakukan mereka sama seperti perlakuan terhadap kaum kafir.  Dalam perspektif ISIS, sistem Demokrasi Pancasila yang dianut Indonesia juga termasuk sistem kafir yang sah untuk diperangi. Sebagian kalangan Islam, termasuk ISIS, berpendapat bahwa din wa daulah (agama dan negara/politik) tidaklah bisa dipisahkan, dan wujud negara yang bisa diterima adalah kekhalifahan, meski model kekhalifahan ini bisa bervariasi. Namun, konsep hubungan agama dan negara ini tidak disepakati secara tunggal dan mendapat banyak kritik. Maka, meski cukup berhasil meraup banyak pengikut di berbagai belahan dunia, klaim ISIS sebagai representasi negara Islam ini sangat bisa dipertanyakan dan digugat. Hal itu karena sumber ajaran Islam, Al-Quran dan Hadist, tidak menunjukkan atau memerintahkan secara spesifik bentuk negara atau pemerintahan yang Islami. Tidak pernah ada petunjuk dari Nabi, bahkan dari Allah, tentang bagaimana seharusnya sebuah tata politik (polity) dalam Islam ditegakkan. Pemikir Islam seperti Abdur Raziq dan Thaha Husein bahkan mengatakan, Islam tidak memerintahkan pendirian sebuah negara. Jadi, suksesi yang dilakukan oleh para sahabat Nabi sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW adalah murni inisiatif dan ijtihad manusia belaka. Pengertian Islam Nusantara Secara sederhana, menurut Ishom Yusqi (2015), Islam Nusantara adalah potret keberagamaan yang mengakar dan tumbuh kembang di tengah masyarakat Nusantara. Dengan demikian, pola pengembangan dakwahnya pun menghargai tradisi yang hidup di tengah masyarakat. Ia memberi ruang untuk terus berkembang dengan mempertimbangkan kondisi sosiokultural dan kearifan lokal masyarakat Nusantara, dalam menggali dan memaknai ajaran Islam. Islam Nusantara telah melahirkan sejumlah tokoh ulama Nusantara yang karismatik, dengan model ijtihad yang khas dan membumi. Misalnya: Wali Songo (antara abad ke-11 dan 14 Masehi), Syekh Abdurrauf Singkil, Aceh (1615-1693), Syekh Yusuf al-Makassari (1626-1699), Kiai Ahmad Khatib Sambas (1803-1875), Kiai Nawawi al-Bantani (1813-1897), Kiai Mahfudz at-Termasi (1868-1920), Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860-1916), Kiai Kholil Bangkalam al-Maduri (1820-1925), Muhammad Yasin al-Fadani (1917-1990), Kiai Ahmad Dahlan (1868-1923), Kiai Hasyim Asy’ari (1875-1947), dan masih banyak lagi. Mereka adalah contoh tokoh-tokoh Muslim Nusantata yang berhasl mendialogkan antara risalah Islam dan tradisi kenusantaraan secara arif dan bijaksana. Dengan demikian, Islam dengan sgenap ajarannya yang melangit (sebagai agama samawi) dapat membumi di kawasan Nusantara tanpa melalui konflik yang berarti. Maka secara genealogis, kehadiran wacana Islam Nusantara memiliki ketersambungan sanadnya yang sangat jelas dan otoritatif. Menurut Azyumardi Azra (2015), dalam dunia akademis istilah “Islam Nusantara” mengacu kepada “Southeast Asian Islam.” Dalam literatur Arab sejak akhir abad ke-16, kawasan Islam Nusantara disebut “bilad al-Jawi,” negeri “Muslim Jawi” –yaitu Asia Tenggara. Wilayah Islam Nusantara atau bilad al-Jawiyyin adalah salah satu dari delapan ranah agama-budaya Islam, bersama dengan: Arab, Persia/Iran, Turki, Anak Benua India, Sino-Islamic, Afrika Hitam, dan Dunia Barat. Meski memegang prinsip pokok dan ajaran yang sama dalam akidah dan ibadah, setiap ranah memiliki karakter keagamaan dan budayanya sendiri. Keabsahan Islam Nusantara bukan cuma secara geografis-kultural, tetapi juga pada ortodoksi yang terdiri atas teologi Asy’ariyah, fikih Syafi’i, dan tasawuf Al-Ghazali. Keterpaduan tiga unsur ortodoksi ini membuat Islam Nusantara jadi wasathiyah (moderat). Teologi Asy’ariyah menekankan sikap moderasi antara wahyu dan akal. Fikih Syafi’i bertautan dengan tasawuf amali/akhlaqi dan menjadikan ekspresi Islam yang inklusif dan toleran. Menurut Azyumardi Azra, ortodoksi Islam Nusantara itu membentuk tradisi yang terkonsolidasi, mapan, dan dominan sejak abad ke-17, yang lalu lebih dikenal dengan sebutan ahlus sunnah wal-jama’ah (Sunni). Hampir seluruh Muslim Indonesia adalah pengikut ahlus sunnah wal-jama’ah, tetapi ada perbedaan penekanan. Ormas NU menekankan pada tradisi ulama, sedangkan Muhammadiyah lebih menekankan pada aspek modernisme-reformisme dan ijtihad.  Sejak berakhirnya Perang Dunia II, Islam Nusantara –secara istilah maupun substansi—tampaknya hanya valid untuk Indonesia, sehingga Islam Nusantara harus dipahami sebagai Islam Indonesia. Dalam hubungan antara agama dan negara, Islam tidak menjadi agama resmi atau agama negara di Indonesia. Maka Islam Indonesia tidak menjadi bagian dari politik dan kekuasaan, berbeda misalnya dengan di Malaysia, Pakistan, Iran, dan Arab Saudi.  Menurut Nasaruddin Umar (2015), teologi ahlus sunnah wal-jama'ah (Aswajah) yang jadi pijakan komunitas warga NU (nahdliyin) memberikan pengaruh sekaligus kontribusi amat penting di dalam penemuan dan penguatan empat pilar, yaitu: Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945 .  Aswajah dikenal sebagai konsep teologi inklusif, memiliki cara pandang sendiri yang lebih dikenal fikrah nahdliyyah, yang mengacu kepada prinsip moderat (tawasuthiyyah), toleran (tasamuhiyyah), reformis (ishlahiyyah), dinamis (tathawwuriyyah), dan metodologis (manhajiyyah). Konsep ini menjadi ciri khas warga NU di dalam mengukur dan menyelesaikan setiap persoalan. Konsep inilah yang melahirkan etika dan fikih kebangsaan (fiqh wathaniyyah) yang produknya antara lain trilogi ukhuwah, yaitu ukhuwah basyariyyah (persaudaraan kemanusiaan), ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah Islamiyyah (persaudaraan keislaman). Konsep trilogi ukhuwah ini menenggelamkan tiga konsep kenegaraan dalam fikih Islam klasik: dar al-Islam (negara Islam), dar al-Harb (negara musuh), dan dar al-Shulh (negara non-Muslim tapi menjalin hubungan damai). Empat pilar itu bagi warga NU dianggap sebagai manifestasi fikrah nahdliyyah (pemikiran kaum Nahdliyin) sehingga tak seorang pun warga NU yang menolak pernyataan "NKRI adalah bentuk final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara". Warga NU juga tidak tertarik pada ideologi ISIS, Al-Qaeda, dan kelompok Islam radikal lain yang mewacanakan konsep kebangsaan dan kenegaraan lain, yang tidak sejalan dengan empat pilar di atas.  Sedangkan Ma’ruf Amin (2015) menjabarkan, ada lima penanda Islam Nusantara. Pertama, reformasi (islahiyyah), yaitu pemikiran, gerakan, dan amalan yang dilakukan harus selalu berorientasi pada perbaikan. Contohnya, pada aspek pemikiran, pemikirannya bertujuan untuk perbaikan terus-menerus. Cara berpikirnya tidak statis, tetapi juga tidak kelewat batas. Kedua, tawazuniyyah, yang bermakna seimbang di segala bidang. Jika sebuah gerakan diimplementasikan, maka aspek keseimbangan juga harus dijadikan pertimbangan. Ini artinya menimbang dengan keadilan. Ketiga, tatawwu’iyyah, yang berarti harus bersifat sukarela. Yakni, dalam menjalankan pemikiran, gerakan, dan amalan, tidak boleh memaksakan pada pihak lain. Kita harus memperhatikan hak-hak orang lain di luar golongan atau kelompok kita. Dengan kata lain, tidak ada pemaksaan, tetapi bukan lantas tidak berbuat apa-apa. Keempat, santun (akhlaqiyyah), yaitu segala bentuk pemikiran, gerakan, dan amalan warga Islam Nusantara harus dilaksanakan dengan santun. Santun di sini berlaku sesuai dengan etika kemasyarakatan, kenegaraan, serta keagamaan. Kelima, tasamuh, yang berarti bersikap toleran, hormat kepada pihak lain. Sikap toleran ini tidak pasif, tetapi kritis dan inovatif. Dalam bahasa keseharian, adalah sepakat untuk tidak sepakat. Dalam wujud amaliahnya, Islam Nusantara sangat menghormati tradisi-tradisi dan budaya yang telah berlangsung sejak lama di masyarakat. Tradisi atau budaya yang ada itu tidak begitu saja diberangus, tetapi dipelihara sejauh tidak menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam. Praktik keagamaan semacam inilah yang pada dasarnya telah dilakukan oleh Wali Songo dalam dakwah dan penyebaran Islam. Sehingga mayoritas sejarahwan sepakat bahwa Islam disebarkan di Indonesia secara damai, tanpa intimidasi, dan tanpa perang. Secara sederhana, menurut Teuku Kemal Fasya (2015), Islam Nusantara ialah proses penghayatan dan pengamalan Islam melalui pengalaman lokalitas umat yang tinggal di Nusantara. Dimensi kultural itu tentu ikut mempengaruhi nilai keislaman tersebut. Jadi pengertian “Nusantara” dalam Islam Nusantara itu bukan berarti mazhab atau aliran, tetapi tipologi. Tipologi Islam di Nusantara ini melebur dengan budaya setempat, kecuali dengan budaya yang tidak sesuai syariat, seperti minum minuman keras. Dalam masyarakat Aceh, misalnya, pesan-pesan Al-Quran dan Hadist tidak langsung disampaikan melalui praktik eksegesis yang ketat, tetapi melalui gelar kesenian, yaitu saer (syair). Praktik ini berlangsung turun-temurun dan menjadi seni tradisi yang dipertahankan. Pendekatan ini disukai oleh masyarakat luas. Islam membumi melalui keterampilan saer-saer para ulama dan seniman, yang memodifikasi pesan-pesan agama yang bersifat eskatologis-normatif menjadi kontekstual dan puitis. Di Jawa juga dikenal tradisi slametan, maulidan, tahlilan, dan sebagainya. Jadi dalam relasi antara agama dan budaya menurut Islam Nusantara, ada beberapa pendekatan. Apabila budaya itu sesuai dengan syariat, akan diadopsi. Maka ada istilah al-aadah muhakkamah (adat adalah hukum). Ini menjdi prioritas karena Islam Nusantara mencari keselarasan, harmoni dengan budaya. Sedangkan apabila budaya itu bertentangan dengan syariat (sesuai tafsir yang otoritatif), ada tiga sikap: (1) Toleran, yakni membiarkan dan menghormati asalkan tidak mengganggu; (2) Membentuk subkultur (benteng) dalam masyarakat, seperti pesantren, atau (c) melakukan perubahan secara bertahap dan menjauhi kekerasan. Ada beberapa tuduhan atau kesalahpahaman terhadap Islam Nusantara. Sejumlah pihak menuding bahwa Islam Nusantara itu mengutamakan budaya lokal ketimbang nilai-nilai Islamnya sendiri. Menurut Husein Ja'far Al Hadar (2015), tuduhan ini perlu diluruskan, karena rentan membuat Islam Nusantara seolah-seolah tercerabut dari nilai-nilai dasar Islam dan hanya mementingkan identitas kebudayaannya.  Pertama, kekeliruan yang menilai keberadaan Islam Nusantara berarti menyalahi prinsip "Islam yang satu". Padahal, Islam Nusantara adalah Islam yang satu itu sendiri, sebagaimana Islam di Arab yang dibawa oleh Nabi. Hanya, ketika ia dibawa ke Indonesia, budaya Arab yang melingkupinya digantikan dengan budaya Indonesia yang menjadi konteks barunya di sini. Hal itu bukan karena kita anti-Arab, melainkan agar Islam bisa sesuai dengan konteks Indonesia, sebagaimana Nabi Muhammad SAW menyesuaikan Islam dengan budaya Arab saat pertama kali turun dulu.  Kedua, kesalahpahaman bahwa Islam Nusantara keluar dari konsep Islam yang murni sebagaimana diajarkan dan dipraktikkan Nabi. Jika yang dimaksud “Islam murni” adalah sebagaimana yang dipahami pelaku kesalahpahaman itu, maka Islam murni merupakan gagasan yang bukan hanya utopis, tapi juga salah kaprah. Karena, hal itu bertentangan dengan sunnatullah dan prinsip dasar Islam yang bisa ditemui dalam Al-Quran, surat Al Hujurat: 13. Islam Nusantara menjaga prinsip Islam dari sumber Al-Quran dan Hadist, yang menjadi fondasi dan substansi Islam Nusantara. Namun, ada kreasi atau ijtihad dilakukan pada tataran yang memang dibolehkan, bahkan diwajibkan. Yakni, pada tatanan syariat ijtihadiyyat atau syariat yang sejatinya dinamis, dan memang seharusnya dikontekstualisasi dengan ruang dan waktu (baca: wilayah geografis dan zaman), untuk menjunjung prinsip Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Penutup dan Saran Dari berbagai uraian tentang Islam Nusantara, dapat disimpulkan bahwa konsep Islam Nusantara berisi unsur-unsur yang jika diimplementasikan dapat menjadi penangkal radikalisme agama. Radikalisme agama yang berbalut tindakan kekerasan itu saat ini sedang digelorakan oleh kelompok-kelompok seperti ISIS.  Islam Nusantara mengedepankan cara berpikir yang dinamis dan berlandaskan pada nilai-nilai kebaikan, tetapi tetap sesuai aturan dan disampaikan secara santun, tanpa menggunakan kekerasan dan pemaksaan. Maka jika diterapkan secara konsisten, Islam Nusantara diharapkan dapat menangkal radikalisme agama, sekaligus mampu mewujudkan praksis Islam sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil alamin). Untuk lebih mensosialisasikan konsep Islam Nusantara, dan sebagai langkah-langkah konkret guna membendung radikalisme agama, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, dalam sistem pendidikan agama Islam, sejak SD hingga SMA/SMK, perlu lebih diajarkan sikap toleransi, penyebaran kasih sayang, dan moderat. Kementerian Agama juga harus fokus dalam meningkatkan pemahaman dan paradigma guru-guru agama Islam di sekolah, agar mengedepankan pembentukan karakter siswa, dan membangun toleransi terhadap perbedaan agama, suku, dan budaya. Kedua, peran media massa juga sangat penting dalam mensosialisasikan nilai-nilai Islam Nusantara dan menangkal radikalisme agama. Organisasi pengamat media, organisasi profesi jurnalis, Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia, dan kalangan media sendiri harus mewaspadai penyebaran ajaran-ajaran radikalisme agama melalui media, khususnya media online dan media sosial. Masyarakat sebagai audiens media juga harus bersikap kritis dan tegas terhadap media yang terang-terangan menyebarkan ajaran radikalisme agama. Ketiga, dalam konteks global, organisasi seperti NU, Muhammadiyah, dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) perlu proaktif menyebarkan konsep Islam Nusantara ke berbagai negara lain yang berpenduduk mayoritas Muslim. Ini merupakan sumbangsih umat Islam Indonesia dalam mengatasi ideologi-ideologi transnasional yang bersifat merusak, yang berlandaskan pada radikalisme agama. Kita patut berbesar hati karena –seperti dikatakan oleh Menteri Agama Lukman H. Saifuddin—istilah “Islam Nusantara” kini sudah mnjadi wacana yang mendunia, di banyak perguruan tinggi ternama di Eropa dan Amerika. Islam Nusantara menjadi diskursus dan akan menjadi sebuah term. Dr. Chiara Forichi dari Universitas Cornell di Ithaca, New York, mengatakan, gagasan Islam Nusantara sangat erat dengan budaya dan sejarah Indonesia. Ia tidak tahu apakah Islam Nusantara bisa diterapkan di negara lain atau tidak, tetapi yang jelas bisa menjadi contoh untuk mengerti mengapa seseorang memeluk Islam. Ada banyak cara untuk memahami Islam dan ada banyak cara untuk berinteraksi dengan non-Muslim. Ketua Umum MUI Din Syamsuddin pada Munas MUI di Surabaya, 25 Agustus 2015 juga mengatakan, MUI ingin mengajukan konsep wasathiyah, tidak hanya pada Indonesia tetapi juga pada dunia. Islam wasathiyah adalah wawasan yang memiliki kecenderungan pada jalan lurus atau jalan tengah. Secara filosofis, wasathiyah merupakan ajaran Islam yang berarti penolakan pada ekstremitas, baik yang bersifat fundamental maupun liberal.  Dengan berbagai langkah konkret ini, diharapkan konsep Islam Nusantara dapat berfungsi efektif dalam meredam dan menangkal ideologi-ideologi transnasional yang berdasarkan pada radikalisme agama. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDAPAT NU DAN MUHAMMADIYAH SOAL KONFLIK UIGHUR YANG TAK MAU KITA DENGAR

Forum Kyai dan Mubaligh Nusantara Tolak People Power

Kenapa Allah Menciptakan Kita Berbangsa Bangsa dan Bersuku Suku?